Pembangunan Budaya Yang Tak Terjamah

Oleh Lala Bumela

Selama kurang lebih 10 tahun terakhir ini isu mengenai pembentukan provinsi Cirebon semakin akrab terdengar di ruang publik. Isu berbau politik ini semakin mengemuka dalam diskursus sosial masyarakat Jawa Barat khususnya yang berada di kawasan Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan) terutama menjelang Pilkada Jawa Barat yang dilaksanakan tahun lalu. Konon, masyarakat di empat kawasan ini kecewa berat dikarenakan merasa tidak pernah diperhatikan secara serius baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah Jawa Barat. Isu-isu yang berkaitan dengan pembangunan menjadi penyulut kekecewaan mereka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa memang selama ini aroma pembangunan terasa berjalan lambat di keempat kawasan ini. Akses-akses terhadap sumber ekonomi yang jumlahnya tidak banyak terbukti telah membatasi ruang kehidupan masyarakat Ciayumajakuning. Homogenitas menjadi penghambat mobilitas kehidupan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian besar lulusan SMA dan universitas di keempat kawasan ini menggantungkan harapan hidupnya pada sebuah “status agung” PNS (Pegawai Negeri Sipil). Menjadi pengusaha masih merupakan pilihan yang tidak terlalu aman dan menjanjikan. Bagi banyak orang, urbanisasi menjadi satu-satunya pilihan terbaik untuk menjamin kehidupan. Tak sedikit yang meraih sukses di kawasan urban, tapi tak sedikit pula yang gagal meraih mimpi. Namun, sedikit sekali yang mau kembali ke daerah asal untuk ikut serta dalam nafas pembangunan. Hal ini tentu saja melahirkan masalah demografi yang cukup pelik untuk dipecahkan.

Memang sangat masuk akal bila masyarakat di kawasan Ciayumajakuning ini merasa resah mengenai gaung pembangunan di daerahnya masing-masing. Tak ada yang bisa membantah bahwa pembangunan selalu berdampak pada kemampuan ekonomi sebuah masyarakat. Jika laju pembanguna terasa stagnan, maka masyarakat tak punya banyak pilihan untuk menggelontorkan roda kehidupannya. Namun, alangkah baiknya bila kita mampu bersikap lebih kritis atas apa yang terjadi selama ini di dalam kehidupan kita.

Pembentukan sebuah provinsi baru di Indonesia yang lebih dikenal dengan istilah pemekaran selalu dilandaskan pada sebuah alasan klasik bernama “kesejahteraan” yang berada dalam domain ekonomi. Para perancang pemekaran sebuah tata pemerintahan baru di banyak daerah hanya berkutat pada masalah pembangunan ekonomi rakyatnya. Padahal pembangunan tidak hanya terdiri dari elemen ekonomi. Pembangunan tidak bisa dipersepsi dari aspek ekonomi saja karena ia merupakan sebuah entitas utuh yang terdiri banyak elemen.

Aspek-aspek budaya dan identitas kultural seringkali tak terjamah oleh dinamika pembangunan kita sekarang ini. Terma budaya yang digunakan dalam tulisan ini mencakup konsep-konsep yang sangat luas namun mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia: cara berfikir dan bertindak suatu kelompok masyarakat, simbol-simbol kehidupan yang direpresantsaikan lewat bahasa, seni, dan tradisi, serta nilai-nilai moralitas kehidupan yang dipercaya dan mendasari roda kehidupan masyarakat itu (inheren dalam terma budaya ini adalah institusi pendidikan dan teknologi). Kaum yang menghambakan dirinya pada Cultural Studies sangat memercayai bahwa kegagalan pembangunan lebih disebabkan oleh kegagalan memelihara, melestarikan dan mengembangkan sumber-sumber kekuatan budaya sebuah kelompok masyarakat.

Melihat kondisi Indonesia yang semakin tak tentu arah, penulis pun lambat laun menyadari bahwa hipotesa tersebut semakin mendekati kebenaran yang nyata. Kemiskinan yang melanda Indonesia bukan karena kita tidak memiliki sumber-sumber ekonomi yang mapan. Bukan pula karena kita tidak memiliki kekayaan alam. Justru dengan segala kekayaan alam yang melimpah dan begitu banyak sumber pendukung untuk menjadi negara yang memiliki peradaban tinggi, Indonesia malah menjadi negara pesakitan. Ini bukti nyata bahwa Indonesia yang korup, bodoh, malas, dan miskin merupakan akibat kegagalan membangun budaya. Kegagalan pembangunan budaya ini berdampak pada pola pikir dan mental yang super bobrok seperti yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kegagalan budaya selalu berimbas pada rusaknya aspek-aspek kehidupan suatu bangsa. Keadaan ini tentu saja melahirkan banyak penderitaan dan kesengsaraan yang tak bertepi. Dalam terma yang diperkenalkan Noam Chomsky pada tahun 2005, Indonesia termasuk dalam kategori negara gagal (failed state).

Identitas, Bahasa dan Hegemoni

Mimpi tentang pembentukan provinsi Cirebon nampaknya harus dikaji dengan sangat cermat, bukan hanya menggunakan pertimbangan politik dan ekonomi tapi juga harus mengadopsi pertimbangan budaya yang inheren dalam khasanah geografis kawasan Ciayumajakuning itu sendiri. Bila pembangunan tidak mau menjamah aspek-aspek kultural yang mengikat hidup dan kehidupan suatu masyarakat, maka dominasi sebuah kelompok terhadap kelompok masyarakat yang lain takkan dapat dihindari. Dominasi ini akan melahirkan hegemoni sosial, politik dan ekonomi yang menyebabkan runtuhnya pundi-pundi persatuan.

Dua kelompok kultural yang hidup di kawasan Ciayumajakuning adalah Sunda (Kuningan dan Majalengka) dan Cirebon (termasuk Indramayu). Penanda utama dari eksistensi kedua kelompok budaya ini adalah bahasa. Bahasa Sunda digunakan secara masif di Kuningan dan Majalengka, sementara bahasa Cirebon (konon tidak mau diklaim sebagai dialek bahasa Jawa) menjadi lingua franca di kawasan Cirebon dan Indramayu. Beberapa waktu yang lalu pemerintah Indramayu pun mengklaim bahwa bahasa yang digunakan di Indramayu bukan bahasa Cirebon atau bahasa Jawa tapi bahasa Indramayu (Dermayu).

Hal ini tentu saja mengundang polemik yang berkepanjangan di kalangan para linguis mengingat secara historis baik bahasa Cirebon maupun Indramayu adalah merupakan “titisan” bahasa Jawa. Ini dikarenakan Cirebon dan Indramayu memang pada zaman dulu merupakan tujuan migrasi orang-orang Jawa yang terkait dengan sejarah perkembangan Islam. Namun, pada perkembangan selanjutnya orang-orang Cirebon mendeklarasikan identitas baru mereka yang bukan Jawa maupun Sunda tapi Cirebon. Identitas ini didasarkan pada fakta bahwa bahasa Cirebon memiliki karakteristik yang berbeda dalam variasi kosakata dengan bahasa Jawa. Bila dikaji secara sosiolinguistik, baik bahasa Cirebon maupun Indramayu merupakan dialek dari bahasa Jawa yang telah lama hidup, bukan merupakan bahasa baru.

Fakta mengenai bahasa dan identitas ini sangat menarik untuk ditelisik karena beberapa alasan. Pertama, terma bahasa dan identitas merupakan konsep yang inheren dalam budaya dan kedua terma ini menjadi penanda sebuah eksistensi sebuah kelompok masyarakat, sehingga bila aura pembangunan tidak menyentuh kedua hal ini dapat dipastikan konflik identitas bakal terjadi. Kedua, perbedaan latar belakang bahasa dan budaya selalu berdampak pada perbedaan cara berfikir dan bersikap. Perbedaan ini cenderung melahirkan kepentingan yang berbeda pula. Ketiga, perbedaan budaya mewajibkan para anggota kelompok masayarakat dari kedua kubu untuk memiliki pemahaman yang solid mengenai intercultural communication. Untuk membangun sebuah peradaban tinggi, masyarakat yang terlibat di dalamnya harus dituntut untuk menjadi komunikator-komunikator antarbudaya yang unggul sehingga toleransi yang tinggi terhadap berbagai perbedaan dapat lahir, berkembang dan dipelihara dengan baik. Berbagai masalah dipastikan lahir dan beranak pinak apabila para perencana dan pelaksana pembangunan tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai komunikasi antarbudaya ini apalagi jika mereka tidak mempromosikan hal ini kepada masyarakat. Masyarakat bukan hanya harus disadarkan ihwal pentingnya komunikasi antarbudaya tapi juga mesti dilatih dan dididik untur beradaptasi terhadap perbedaan budaya agar hegemoni dapat dihindari.

Hegemoni menjadi bahasan penting dalam pembangunan karena sebuah proses pembangunan seringkali berdampak pada ketidakadilan dan ketimpangan. Hegemoni merupakan konsep utama analisis Gramsci mengenai kapitalisme Barat dan strategi revolusioner di kawasan Eropa Barat (Gramsci 1971; Buci-Glucksman 1980). Seiring dengan pemikiran Gramsci, Fairclough (1992) mendefinisikan hegemoni sebagai “…leadership as much as domination across the economic, political, cultural and ideological domains of a society.” Fairclough lebih jauh menandaskan bahwa hegemoni bisa bersifat ideologis & terinternalisasi dalam bahasa. Misalnya saja, penulis sering menemukan fakta bahwa dalam pamflet pariwisata yang melibatkan salah satu hotel ternama di kawasan Sangkanurip, nama “Kuningan” selalu di-backgrounded dengan cara ukuran hurufnya dicetak lebih kecil ketimbang nama “Cirebon”. Ini mengimplikasikan image bahwa seolah-olah Kuningan adalah bagian dari Cirebon, dan Cirebon lebih superior dari Kuningan.

Contoh lain yang lebih meresahkan penulis (sebagai orang asli Kuningan) adalah bahwa pada sebuah buku sejarah yang digunakan penulis sewaktu belajar di sekolah dasar, Gedung Linggar Jati yang memiliki nilai historis yang begitu tinggi ternyata disebutkan berada di kawasan Cirebon. Teman-teman kuliah penulis yang pernah berkunjung ke beberapa tempat wisata di Kuningan pun keukeuh bahwa Kolam Ikan Cigugur dan Cibulan berada di Cirebon karena mendapat informasi salah dari gurunya. Dan apabila suatu saat provinsi baru itu bernama “Cirebon”, maka para perencana pemekaran wilayah jelas tidak memiliki sensitifitas kultural yang tajam. Begitu pula dengan penggunaan nama Ciayumajakuning. Akronim ini, bila ditinjau berdasarkan analisis paham strukturalisme, bisa mengimplikasikan bahwa Cirebon dan Indramayu (yang disebut pertama) merupakan pihak yang paling berkepentingan dalam pembentukan provinsi baru & paling superior di antara dua yang lain. Asumsi lain yang mungkin lahir dari akronim ini adalah bahwa dua daerah lain (Majalengka dan Kuningan) merupakan inferior saja dan diposisikan secara diskursif sebagai elemen linguistik yang di-backgrounded.

Penulis berharap bahwa hal-hal di atas tidak terjadi lagi di masa depan karena insiden itu dianggap sebagai pelanggaran ideologis yang begitu halus sehingga orang akan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan sudah begitu adanya (taken-for-granted disposition). Fairclough (1989) dalam bukunya Language and Power telah memberi contoh secara gamblang bagaimana praktek-praktek diskursus sosial dapat teridentifikasi secara analitis lewat penggunaan bahasa. Kemauan kita untuk berfikir lebih kritis akan menuntun kita menjadi warga negara yang memahami arti penting sebuah penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan pembangunan identitas yang (sekali lagi) inheren dalam budaya. Pembangunan budaya yang berkesinambungan hanya akan terlaksana bila anggota masyarakat memiliki kesadaran kritis yang baik.

Penutup

Raymond Williams (1983) menyatakan bahwa konsep budaya (culture) adalah salah satu kata dalam bahasa Inggris yang paling kompleks untuk didefinisikan. Ia menyarankan agar kita tidak terlalu berkutat pada pertanyaan “what is culture?” Yang jauh lebih penting untuk dibahas adalah “how we talk about culture and for what purposes”. Dalam konteks pembangunan, budaya harus menjadi dasar pijakan sebuah rencana pembangunan. Pembangunan budaya harus menjadi fondasi pembangunan aspek-aspek kehidupan manusia. Isu-isu mengenai pembentukan karakter, fisik dan mental, peningkatan kemampuan berpikir kritis yang diwarnai kejujuran, keberanian, kepedulian sosial, dan penghormatan atas perbedaan harus lebih dulu mengemuka dan mengakar kuat di benak para perencana pembangunan ketimbang isu investasi asing dan ekspor impor.

Telah banyak fakta yang terkuak bahwa sebuah pemekaran kabupaten/kota ataupun provinsi tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Uang pemekaran wilayah yang bernilai truliunan rupiah itu lebih banyak menguap tanpa bisa dijelaskan secara rasional. Telah banyak cerita yang lahir pula bahwa pemekaran sebuah wilayah administratif hanya melahirkan “raja-raja” baru yang berkoloni dalam mleanggengkan sebuah bentuk kekuasaan baru. Yang terjadi kemudian adalah praktik suap, korupsi dan pungutan liar menjamur dengan cepat. Akibatnya adalah rakyat tetaplah menjalani hidup yang nestapa. Bila sebuah pemekaran hanya melahirkan cerita-cerita yang mengenaskan, maka tidak salah bila Indonesia mendapat julukan negara yang mencintai kesia-siaan. Lebih parah lagi kalau kita secara tidak sadar mendukung sepenuh hati kesia-siaan tersebut.

Penulis adalah mahasiswa master jurusan Applied Linguistics Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, lahir di Kuningan.

[Tulisan ini dibuat sebagai respon atas semakin menguatnya isu pembentukan Provinsi Cirebon baru-baru ini. Saya mengajak pembaca terutama masyarakat Kuningan agar mampu melihat fenomena ini dengan kritis. Feedback dan komentar mengenai isu ini bisa dikirim ke email saya di elbibestralen@gmail.com atau di-post ke akun Facebook saya. Terima Kasih]



0 komentar:

Post a Comment

Followers