Setiap
pukul 16.00, antrean nasabah bank sampah biasanya sudah panjang. Mereka
bukannya menanti giliran menyetor uang seperti di bank pada umumnya,
melainkan sampah yang mereka kumpulkan selama dua hari. Meski yang
disetorkan wujudnya tidak sama, pengelolaan bank sampah mirip dengan
bank pada umumnya.
Setiap nasabah datang dengan tiga kantong sampah berbeda. Kantong I
berisi sampah plastik, kantong II sampah kertas, dan kantong III berupa
kaleng dan botol. Ketika menimbang sampah, nasabah akan mendapat bukti
setoran dari petugas teller. Bukti setoran itu menjadi dasar
penghitungan nilai rupiah sampah, yang kemudian dicatat dalam buku
tabungan. Untuk membedakan, warna buku tabungan tiap RT dibuat berbeda.
Setelah sampah terkumpul banyak, petugas bank menghubungi tukang rosok.
Tukang rosok memberi nilai ekonomi tiap kantong sampah milik nasabah.
Catatan nilai rupiah itu lalu dicocokkan dengan bukti setoran dan
kemudian dibukukan.
Harga sampah bervariasi bergantung pada
klasifikasinya. Kertas karton dihargai Rp 2.000 per kg, kertas arsip Rp
1.500 per kg. Sedangkan plastik, botol, dan kaleng harganya menyesuaikan
ukuran.
Tiap nasabah memiliki karung ukuran besar, yang
tersimpan di bank untuk menyimpan seluruh sampah yang mereka tabung.
Tiap karung diberi nama dan nomor rekening tiap nasabah. Tujuannya agar
setiap tukang rongsok datang, petugas bank tidak kebingungan memilah
tabungan sampah tiap nasabah. Karung- karung sampah itu tersimpan rapi
di gudang bank.
Gemah Ripah
Bank Sampah Gemah Ripah, didirikan masyarakat Dusun Bandegan, Bantul,
DI Yogyakarta, tiga bulan lalu. Kini jumlah nasabahnya 41 orang dari 12
RT di dusun tersebut. Pada tahap awal mereka masih membatasi diri untuk
warga satu dusun, tetapi bila sudah memungkinkan nasabah tidak akan
dibatasi asalnya.
Tidak semua sampah disetor ke tukang rosok.
Sebagian di antaranya, yakni jenis plastik sachet dan gabus, diolah
sendiri oleh bank sampah. ”Plastik sachet kami hargai Rp 15 per sachet,
sementara gabus bergantung pada ukuran,” ujar Ismiyati, koordinator daur
ulang sampah.
Plastik-plastik itu lalu diolah untuk membuat
aneka aksesori rumah tangga, seperti tas, dompet, hingga rompi.
Barang-barang tersebut dijual dengan harga Rp 20.000-Rp 35.000.
”Beberapa pembeli asing minta dikirim contoh barang. Kalau mereka
setuju, pesanan yang kami terima akan menumpuk. Karenanya, stok bahan
baku harus banyak. Kami sudah meminta warga untuk lebih aktif menabung
sampah,” katanya.
Sampah jenis gabus biasanya dibuat menjadi
pot bunga, tempat dudukan bendera, atau perlengkapan rumah tangga
lainnya. Gabus-gabus itu dicampur dengan pasir dan semen. ”Produksi dari
bahan gabus pesananannya masih lokal saja,” kata Ismiyanti
Menurut Panut Susanto, ketua pengelola bank sampah, sampah yang
terkumpul tiap minggu mencapai 60-70 kg. Untuk sementara jam layanan
bank dimulai pukul 16.00-21.00 tiap hari Senin-Rabu-Jumat. ”Kami baru
bisa melayani pada sore hari karena sebagian besar petugas bank harus
bekerja pada pagi hari,” katanya.
Belum maksimalnya kinerja
petugas karena mereka mengelola bank sampah tanpa dibayar. Artinya,
mereka harus tetap bekerja untuk membiayai kehidupan keseharian. ”Apa
yang kami kerjakan sifatnya masih sosial. Jadi, kami memang tidak
mengharapkan upah karena kondisi bank belum maksimal,” katanya.
Bank sampah memotong dana 15 persen dari nilai sampah yang disetor
nasabah. Dana itu digunakan untuk membiayai kegiatan operasional,
seperti fotokopi, pembuatan buku tabungan, dan biaya lainnya. ”Selama
ini tidak ada nasabah yang keberatan. Kami harus melakukan pemotongan
karena bank ini memang dikelola bersama-sama,” katanya.
Berbeda
dengan bank tempat nasabah bisa mengambil dana setiap saat, di bank
sampah nasabah hanya bisa menarik dana setiap tiga bulan sekali.
Tujuannya agar dana yang terkumpul bisa lebih banyak sehingga uang
tersebut dimanfaatkan sebagai modal kerja atau keperluan yang bersifat
produktif.
”Kalau dibebaskan, mereka bisa konsumtif. Baru
terkumpul Rp 20.000-Rp 30.000 sudah tergiur untuk mengambil. Karena
hanya tiga bulan sekali, mereka bisa menarik dana sampai Rp 100.000-Rp
200.000 bergantung pada banyaknya sampah yang ditabung,” kata Bambang
Suwirda, penggagas bank sampah.
Tersimpan
Menurut Bambang, dana kelolaan yang saat ini tersimpan tinggal Rp
500.000. Sebagian besar nasabah sudah mengambil saat Lebaran lalu. Untuk
sementara, dana nasabah disimpan sendiri oleh pengelola bank. Ke depan,
pengelola akan menjalin kerja sama dengan Bank Bantul untuk menyimpan
dana nasabah.
Para pengelola bank juga bertekad memperluas
operasional bank agar tidak terbatas pada penyimpanan, tetapi juga
peminjaman. ”Dalam konsep bank sampah, barang jaminan mungkin berupa
sampah juga,” katanya.
Fokus sampah yang dikumpulkan saat ini
masih sebatas sampah anorganik. Ke depan, sampah organik juga akan
diterima, yang selanjutnya diolah menjadi pupuk kompos.
Bagi
para nasabah, keberadaan bank sangat membantu. Mereka bisa mendapat
penghasilan tambahan sekaligus kebersihan lingkungan sekitar terjaga.
”Lumayanlah tiap bulan ada pemasukan tambahan. Hitung-hitung buat nambah
dana belanja dapur,” kata Sutiyani, warga setempat.
Bila
gerakan bank sampah bisa meluas ke berbagai desa, masalah sampah bisa
tertangani. Tak hanya itu, perekonomian masyarakat juga ikut membaik
sehingga angka kemiskinan bisa ditekan.
Di Bantul, produksi
sampah per hari mencapai 614 meter kubik. Sayangnya, pemerintah daerah
setempat belum berpikiran ke arah itu.
sumber : Kompas |
2 komentar:
Salam kenal, blog yang menarik, lihat balik ya ke blog saya ! Nice blog, Ada banyak versi tentang Ki Ageng Mangir dan Kanjeng Ratu Roro Sekar Pembayun, namun kami dari pihak trah Mangir mempunyai versi yang sangat berbeda dari versi yang selama ini tercerita , baca blog kami http://pembayun-mangir.blogspot.com/ , akan anda temui kejuatan sesungguhnya trah Mangir adalah trah yang sangat mempersiapkan diri untuk menjadikan keturunannya tokoh pemimpin terbaik bangsa ini dimasa yang akan datang
Trm ksh sdh berkunjung. Ya, insya Alloh sy akan berkunjung balasan
Post a Comment