Eksisensi disiplin ilmu sosiologi dalam peradaban manusia kian menemukan momentumnya di abad 21. Banyak akademisi berbondong-bondong menoleh padanya. Latar belakang penolehan pada sosiologi ini dapat kita lihat dari definisi sosiologi. Secara sederhana, sosiologi bermakna sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkaji masyarakat; termasuk studi atas model hubungan (relationship) dan interaksi (interaction) sosial dan peradaban (culture).
Sejatinya, sebagai sebuah disiplin ilmu, sosiologi mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang. Studi filologis atas sosiologi berkesimpulan, jika benih kajian ini sudah tertabur sejak masa Yunani Kuno. Warisan peradaban Yunani Kuno yang adiluhung itu memberikan nama seperti Xenophanes, Polybios dan filsuf lainnya. Analisa filologis pula yang menjelaskan, terma sosiologi tersusun dari sebuah kata Latin, “socius” (pertemanan) dan akhiran berupa kata Yunani, “logos” (ilmu).
Sebelum nomenklatur “sosiologi” familiar dan mendunia di tangan Auguste Comte (1798-1857), terma tersebut pertama kali dipergunakan oleh seorang penulis lepas berkebangsaan Perancis, Emmanuel Joseph Sieyès (1748-1836), salah seorang konseptor Revolusi Perancis. Dengan meminjam istilah Sieyès, Auguste Comte mencita-citakan adanya kesatuan pelbagai studi atas manusia dalam sebuah payung besar bernama sosiologi. Comte tak menghendaki pelbagai studi atas umat manusia adalah sebuah kajian yang centang-perentang. Terlebih dia meyakini jika umat manusia menempuh fase peradaban yang serupa.
Auguste Comte dengan impresif membagi studi atas fenomena kemasyarakatan menjadi dua klasifikasi. Yaitu La Dynamique Sociale (dinamika sosial) dan La Statique Sociale (eksistensi sosial). Mulanya, sebelum masyhur dengan nama “Sosiologi”, dengan berpedoman pada dua klasifikasinya itu, dia menyebut studi atas fenomena kemasyarakatan sebagai Physique Sociale. Istilah ini, dia pinjam dari Lambert Adolphe Jacques Quételet (1796-1874).
Berdasar atas jasanya, mitos Comte sebagai “Bapak Sosiologi” lekang dalam benak sarjana Barat. Mitos tersebut seakan mengubur peran tak kecil dari Giambattista Vico/ Giovanni Battista Vico (1668-1744) dengan “Scienza Nuova”-nya, Johann Gottfried von Herder (1744-1803), dan Marie Jean Antoine Nicolas de Caritat atau yang akrab dengan nama Marquis de Condorcet (1743- 1794). Fatalnya, sosiologi lantas dikleim mempunyai akar genealogis Barat semata. Islam, dalam perspektif mereka, tak pernah dan takkan dapat berperan dalam melahirkan dan membesarkan sosiologi. Benarkah demikian?
Sosiologi dalam Islam
Sebagai sebuah ide dan gagasan, sosiologi tentunya dapat didaku oleh pihak manapun. Seraya menyertakan argumentasi ataupun tidak. Kleim beberapa pihak bahwa sosiologi adalah murni produk Barat harus dipandang dan disikapi dengan cermat. Kleim itu tak boleh serta merta diposisikan sebagai pandangan yang mencerminkan superioritas Barat atas Islam.
Pendakuan di atas, bagi penulis, sudah sewajarnya dilihat dalam kerangka proses keterpengaruhan peradaban satu dengan lainnya. Islam berhutang pada Barat dalam pemutakhiran konsep-konsep sosiologi. Atau seperti yang terpantul dalam “imperialisme budiman” ala Napoleon Bonaparte terhadap Mesir. Sedang Barat haruslah menghargai Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari mata rantai keilmuan.
Abdurrahman Badawi dengan cemerlang menuliskan, betapa Barat tak boleh jumawa dengan kegemilangan peradabannya kini. Tersebab, kejayaan Barat tak lain sebagai kesinambungan hasil jerih payah sarjana Islam Klasik. Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, Dawr al-Arab fi Takwin al-Fikr al-Urubiy, Badawi secara meyakinkan menjelaskan tentang pelbagai sumbangsih besar peradaban Islam-Arab atas Eropa-Barat. Tak terkecuali dalam ranah filsafat.
Dalam konteks inilah, mengusung sejarawan sekaligus sosiolog Islam kenamaan, Ibn Khaldun (1332-1406) menjadi tak terbantahkan. Publik Arab, Islam dan bahkan (belakangan) dunia mengapresiasinya sebagai generasi pertama ilmuwan yang concern pada fenomena kemasyarakatan. Sekalipun bagi Robert Bellah dalam Beyond Belief-nya lebih senang mengasumsikan bahwa implementasi konsep-konsep sosiologi telah terdeteksi dalam pola interaksi masyarakat muslim Madinah di bawah kepemimpinan Nabi.
Jika Comte menjulang namanya dengan sebuah buku monumentalnya berjudul “Cours de Philosophie Positive”, maka figur Ibn Khaldun meraksasa karena buku fenomenalnya, “Muqaddimat”. Satu buku yang sejatinya dimaksudkan sebagai pengantar atas buku lainnya yang berjudul “Kitāb al-‘Ibār wa Diwân al-Mubtada' wa al-Khabar fî Ayyâm al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asarahum min Dawl al-Sulthân al-Akbâr".
Pelbagai gagasan sosiologi ala Ibn Khaldun, nyatanya, kerap tak mengalami perbedaan dengan konsep sosiologi Auguste Comte yang hidup 400 tahun pasca Ibn Khaldun. Ini mengapa, lantas banyak akademisi lebih suka menahbiskan Ibn Khaldun sebagai “munsyi’u ‘ilm al-ijtima’”, Bapak Sosiologi. Terutama akademisi berlatarbelakang Arab-Islam. Sekalipun ada juga pihak Barat yang mengamininya, semisal Ludwig Gumplowicz dan S. Colosio. Lebih dari itu, Ibn Khaldun juga didapuk sebagai penggagas demografi, historiografi dan filsafat sejarah.
Lain halnya dengan amatan Mahmud Ismail. Baginya, gagasan sosiologi yang berkembang di dunia Islam tak bermula dari Ibn Khaldun. Melainkan berawal dari segugusan gagasan yang dimunculkan oleh Ikhwan al-Shafa dalam Rasa’il-nya. Untuk memperkuat tesanya, Mahmud Ismail merasa perlu menuliskan sebuah buku kontroversial berjudul “Nihayat Usthurat Nadhariyyat Ibn Khaldun Muqtabasat min Rasa’il Ikhwan al-Shafa”.
Terlepas dari adanya gugatan pada konsep sosiologinya, Ibn Khaldun dalam Muqaddimat-nya, secara tersirat, berpandangan bahwa obyek diskursus sosiologi adalah segala aspek yang berkenaan dengan fenomena peradaban (wâqi’ât al-‘umrân). Ia akan merekam proses politik-kekuasaan bangsa, aktivitas perekonomian dan tindakan keilmuan. Dan sikap dan pendapat senada juga diambil Comte. Baginya, obyek kajian sosiologi adalah wilayah yang tak tersentuh ilmu eksakta. Keduanya pun bersepakat dalam fungsi, tujuan dan metode yang seyogianya dipakai dalam kajian sosiologi.
Salah satu ide genial Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya adalah nadhariyyat al-‘amal wa al-qimat (teori produksi dan upah). Sebuah gagasan yang kemudian disematkan pada Karl Heinrich Marx (1818-1883) dan lebih familiar dengan istilah labor theory of value. Menurut Ibn Khaldun, nilai atau upah sebuah produksi ditentukan dan diukur dengan kuantitas produksi itu sendiri. Dan Karl Marx memedomani konsep tersebut sebagai landasan bagi sistem ekonomi-sosialis sebagaimana termaktub dalam Das Kapital.
Menimbang Sosiologi
Sayangnya, langkah impresif intelektual Ibn Khaldun tak mendapat respon yang sepantasnya dari para generasi selanjutnya. Kajian sosiologi dalam dunia Islam menjadi sebuah kajian periferal. Ia tak berdaya ketika harus bersaing dan dipersandingkan dengan kajian mapan semisal fikih, hadits dan tafsir. Tak lama, konsep brilian Ibn Khaldun yang terangkum dalam Muqaddimah-nya malah menguap. Dan bahkan mati.
Diskursus ilmu non keagamaan praktis mandeg dan menemui jalan buntu. Islam dalam kelaraan yang tiada tara. Yang ironis, kajian sosiologi malah dihidupkan kembali oleh pihak Barat. Konsep-konsep cerdas nan elegan itu dipermutakhir. Beberapa nama tenar muncul seperti Ferdinand Tönnies, Émile Durkheim, Karl Marx, Herbert Spencer, Vilfredo Pareto, Georg Simmel dan Max Weber. Oleh mereka, sosiologi dipakai sebagai sarana memproyeksikan kehidupan bermasyarakat yang ideal di masa mendatang.
Dalam konteks kekinian, gagasan sosiologi dimaksudkan sebagai respon atas tantangan yang mengemuka sebagai konsekuensi dari dinamika peradaban. Sosiologi menjadi salah satu media untuk mengurai kekusutan yang terjadi di seputar isu modernitas dan modernisasi seperti industrialisasi dan urbanisasi. Barat menempatkan sosiologi sebagai perangkat untuk mempertahankan koeksistensi satu individu dengan yang lainnya. Terlebih sosiologi mampu memahamkan kepada para pengkajinya, untuk secara tanggap berupaya mengurai simpul-simpul yang berpotensi merusak struktur masyarakat.
Tak pelak, sebagai salah satu aspek keilmuan terpenting di era kontemporer, sosiologi di dunia Islam kini telah menjelma sebagai sebuah tradisi yang hilang. Dari sebuah tradisi, sosiologi justru dipandang sebagai sebuah heresi. Ia tak lain sekadar sebentuk bid’ah yang diimpor dari Barat dan jika diterima akan merusak konstelasi peradaban Islam. Sebuah kekhawatiran yang tak sewajarnya.
Oleh yang menolak, sosiologi dalam kapasitasnya sebagai disiplin ilmu dan pisau analisa, diyakini tak bebas nilai. Sekalipun ia pernah eksis dan matang di tangan cendekiawan muslim terkemuka. Padahal, jika ditilik, sosiologi dalam pemaknaan terkini bertujuan untuk mempelajari interaksi sosial-masyarakat dan komunitasnya. Ia juga hendak menganalisa latar belakang dan pertumbuhan sebuah peradaban serta mengkaitkannya dengan adanya kemungkinan keterpengaruhan individu atas komunitasnya. Dan sebaliknya.
Sebagai sebuah genre studi, sosiologi menjadi menarik dan layak untuk diapresiasi dengan menghidupkannya kembali dalam khazanah keilmuan Islam kontemporer. Terlebih, ia sangat mempertimbangkan keragaman budaya atau kultur, agama, politik dan ekonomi sebagai sebuah latar belakang. Oleh karenanya, ia sangat berguna untuk menunjang kiprah seorang pendidik, penguasa dan tokoh masyarakat.
Lebih dari itu, penerapan sosiologi dalam wacana keagamaan juga akan mampu menghadirkan pemahaman atas konsep agama dalam wajah yang lebih segar dan kontekstual. Tersebab, sosiologi secara niscaya memprasyaratkan sebuah pembacaan yang obyektif dan menyeluruh. Hal itu berangkat dari satu fakta bahwa sosiologi telah terintregasi dengan kajian lainnya seperti antropologi, psikologi dan ilmu humaniora lainnya.
Pada akhirnya, jika sosiologi merupakan warisan tradisi khazanah intelektual Islam Klasik, maka wajah sangar tak harus kita pasang saat berhadapan dengan gagasan-gagasan Karl Manheim, P. Sorokin, M. Weber, Von Wiese, Talcott Parson dan T. Shanin. Toh, mereka tengah mengembangkan gagasan yang pernah diajarkan Ibn Khaldun. Kita uji gagasan dan konsep itu. Bila benar dan sesuai dengan nilai-nilai agama, maka tak bukan, kita tengah menghidupkan tradisi. Dan Ibn khaldun akan bangga. Demikian.[]
0 komentar:
Post a Comment